Sensasi dan Persepsi (Part II/Experience)

| |

Oh..

       Masa SMA merupakan kumpulan kisah-kisah manis pra dan pascaremaja dalam hidup siapapun (kecuali nggak dihayati). Jika seseorang banyak membuang waktu di masa-masa tersebut hanya untuk belajar matematika, hemmm..rugi besar. Ada kalanya kita perlu me-refresh otak kita untuk hal-hal yang menyenangkan walau hal tersebut tidak penting. Nah kisahku ini contohnya.
       Suatu pagi tak seperti biasa aku datang lebih pagi ke sekolah. Karena apa? Karena saya piket saudara-saudara.. Wali kelasku menekankan kepada petugas piket untuk datang lebih pagi, sekitar 30 menit sebelum berbunyi. Mm, datang pagi sih gampang, piketnya bung.. Minimal harus merelakan tangan ini bermain dengan masker alami (tanah kompos) dan stick cangkul super seksi. Yap, dan kami pun berkebun.
        Aku dan 4 rekan piketer lainnya mulai menjalankan rutinitas harian itu dengan sangat gembira dan wajah yang ceria (sedikit didramatisir). Merapikan taman, menyiram bunga, menggemburkan tanah, mencabuti tanaman liar, hingga bermain cacing untuk menakuti teman yang lainnya,,hahaha. Selang 15 menit sebelum bel berbunyi, wali kelas kami datang mengecek kondisi kelas dan memantau kami yang sedang piket. Namun..
       “Jadi kalian berlima yang piket hari ini?”, Bu Ramlah wali kelasku bertanya tanpa ekspresi dan raut muka tajam. Wali kelasku yang biasanya bersikap ramah dan lembut tuturnya terlihat berbeda hari ini. Apakah dia sedang marahkah, badmood-kah, bosan menjadi gurukah, kenapakah? Mungkin baju yang dikenakannya kesempitan, jadi memicu organ dalamnya trus beraksi dalam kondisi yang sesak, beliau pun naik darah. Atau mungkin bosan memiliki anak didik seperti kami yang kerjanya hanya bisa main cacing, keong, dan ulat saat piket kebun kelas. Atau mungkin..cukup..cukup ibu, kami sayang ibu, jangan buang kami..:’(
       “Iya bu”, jawab kami takut. Bu Ramlah tak menyaut dan meninggalkan kami begitu saja masuk ke dalam kelas untuk memberikan pengarahan rutin sebelum jam pertama. Kami berlima saling berpandangan.  Bunga telah disiram dengan merata, tanah juga sudah digemburkan, buang tanaman liar apalagi. Bersih-bersih kelas juga telah kami tuntaskan kemarin usai pulang sekolah. Bel masuk jam pertama telah berbunyi, Bu Ramlah berjalan meninggalkan kelas melewati kami yang masih merenung di luar. Tanpa ekspresi Bu Ramlah berjalan melewati kami, without a word, without a smile.
       Kami berlima tak konsen mengikuti pelajaran Fisika di jam pertama. Ada apa dengan Bu ramlah? Beliau tidak pernah seperti itu kalaupun ada diantara kami yang melakukan kesalahan. Sebegitu besarkah salah kami? Baiklah, ini tidak bisa dibiarkan. Aku…ya aku, aku yang dengan gagah beraninya mendatangi kantor guru yang letaknya di belahan dunia bagian utara pelosok  tanah air areal sekolahku. Aku melihatnya di tempat kerjanya. Aku mendatanginya. Beliau melihatku. Aku tersenyum padanya. Beliau membalas diam. Jantungku tiba-tiba berdebar. Baiklah..
       “Bu, maaf ya tadi. Bunga yang Ibu suruh tanam kemarin layu karena kami lupa nyiramnya bu..”,ungkapku membuka pembicaraan.
       “iya gak papa”, jawabnya singkat. Ya ampun, pake diriku pake ngaku segala. Makin badmood nih pasti Bu Ramlah. Mukanya masih tetap datar, tak berekspresi, tanpa senyuman, tanpa membalas topik baru.
       “ gak marah kan, Bu?”, tanyaku lagi.
       “Gag papa nak..Oiya, nanti tolong bilang ke yang lainnya ya, kayaknya kita gak usah masuk jam terakhir nanti.  Ibu sakit gigi ni, susah la mau ngomong, jadi susah ngpa-ngapai”, akunya sambil terus memegang kedua pipi dan jarinya.
       Oh..


0 comments:

Post a Comment